
Oleh: Nafik Muthohirin
Dosen UMM & Mahasiswa Program Doktor di Eötvös Loránd University (ELTE) Hungary
Rutinitas mahasiswa internasional tidak selalu berkutat di perpustakaan, menulis artikel jurnal, menyelesaikan tugas esai, dan mengikuti konferensi internasional. Terkadang, kita butuh menyegarkan pikiran setelah ujian, melepaskan penat akibat waktu belajar yang panjang, serta menjalani rutinitas “menyendiri” hidup di Eropa.
Setiap mahasiswa punya caranya sendiri untuk mengatasinya. Sebagian lebih suka memasak atau menonton film, dan sebagian yang lain lebih memilih berlibur ke negeri tetangga. Bagi saya, berlangganan Netflix adalah solusi dan sesekali melatih skill memasak dengan meniru tutorial di YouTube.
Beberapa bulan lalu, saya menonton film Rise of the Riven (2024), sebuah film berseri yang cukup viral di Hungaria. Film ini berkisah tentang heroisme Janos Hunyadi, seorang tokoh penting dalam sejarah Hungaria melawan Turki Utsmani. Melalui film itu, saya mempelajari tentang sejarah ekspansi Turki Ustmani dan kehadiran Islam yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Eropa Tengah di abad ke-16.
Warisan yang Tak Hilang
Sejarah kependudukan Turki Utsmani di Hungaria sangatlah kompleks. Kesultanan Utsmani mengekspansi Hungaria dari tahun 1520 hingga 1686. Selama sekitar 150 tahun itu, Turki Utsmani berhasil menguasai sebagian besar wilayah Hungaria dan meninggalkan pengaruh budaya, sosial, ekonomi, seni, dan agama hingga saat ini.
Sejumlah bangunan bersejarah di kota-kota besar di Hongaria masih menyisakan peninggalan kekuasaan Ottoman. Masjid Yakovali Hasan Pasha di Pecs, adalah salah satu warisan yang mencerminkan arsitektur seni Islam pada setiap interiornya. Motif dekorasi masjid yang dibangun untuk menghormati Gubernur Hasan Pasha itu berpola geometris dan kaligrafi Arab.
Selain itu, madrasah, pasar terbuka, berbagai ruang sosial-religius juga dibangun. Pasar terbuka, layaknya Lehel Market yang menjual produk-produk asal Asia dan Timur Tengah, mengingatkan karakter inklusif Kesultanan Utsmani melalui pembukaan bazar-bazar di masa lalu. Di Budapest, khususnya, bazar-bazar terbuka ini masih sering diselenggarakan pada hari-hari libur seperti saat musim dingin dan semi.
Kemudian, yang juga masih tersisa hingga sekarang dan sangat populer di Hungaria, yaitu ragam kuliner asal Turki dan negara-negara di Asia Tengah, seperti kebab, shawarma, uzbek plov, dan Turki dolma. Berbagai hidangan halal itu tidak hanya menjadi santapan khas umat Islam yang menetap di Hungaria, tetapi juga disukai oleh konsumen dari warga lokal.
Menariknya, beberapa pemandian air panas (thermal bath) yang terkenal di Budapest seperti Kiraly Bath, Rudash Bath, dan Veli Bej juga merupakan warisan penguasa Ottoman. Rudash Bath dibangun Pasha Sokollu Mustafa pada 1550 dan Kiraly Bath oleh Arslan Pasha pada 1565, sementara Veli Bej adalah thermal bath yang dibangun Pasha Császár pada 1574 dengan arsitektur struktur kubus utama berkubah di atas kolam mandi segi delapan, khas arsitektur hamam (pemandian) Tukri.
Pada aspek bahasa, sistem irigasi, pertanian, dan kuliner, pengaruh Islam Turki juga mewarnai dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Hungaria. Namun, sisa-sisa pengaruh Utsmani memudar setelah peristiwa Great Turkey War (1683-1699). Setelahnya, kekuatan Utsmani di Eropa Tengah semakin hancur total akibat kekalahannya pada pertempuran di Vienna melawan kekaisaran Habsburg (1683).
Seperti halnya di film Rise of the Riven, Kekaisaran Habsburg yang dipimpin Leopard I bersekutu dengan kekuatan Kristen Eropa, dengan dukungan dari Polandia, Venesia, dan Rusia, –kekuatan yang dikenal sebagai Aliansi Suci (holy alliance)– meruntuhkan dominasi Turki Utsmani dan berhasil merebut Buda, ibu kota Hongaria yang dikuasai Kesultanan turki Utsmani pada era itu.
Kaisar Leopard I memimpin sendiri berlangsungnya kampanye militer besar tersebut. Pasca kemenangannya, ia melakukan “pembersihan” simbol-simbol Islam dan pengaruh Turki Utsmani di Hungaria. Masjid-masjid dialihfungsikan menjadi gereja. Lembaga-lembaga pendidikan Islam berubah menjadi bangunan sipil. Komunitas Muslim yang tersisa dipaksa memilih untuk pergi atau tetap tinggal dengan memeluk Kristen.
Sejak saat itu, kekaisaran Habsburg menancapkan kembali kekristenan Katolik dan mengampanyekan program rekatolisasi. Meski demikian, sejumlah kecil bangunan sejarah peninggalan Turki Utsmani masih dipertahankan hingga sekarang. Hal ini semata karena nilai sejarah dan keindahan arsitektur dari bangunan tersebut.
Alasan inilah yang menjadikan Budapest sebagai destinasi wisatawan global yang paling diminati di Eropa. Selain karena transportasi publiknya yang bagus, biaya murah, letaknya yang strategis, juga karena keindahan kotanya yang cantik karena dikelilingi bangunan bersejarah dan pemandangan sungai Danube yang elok.
Minat Besar terhadap Dunia Islam
Sebagai negara bekas jajahan Turki Utsmani, sikap prasangka warga Hungaria terhadap umat Islam tidak bisa dikatakan benar-benar hilang. Realitas ini diperparah dengan kedatangan imigran negara-negara mayoritas Muslim dan narasi media Barat yang mengasosiasikan Islam dengan terorisme.
Uniknya, jumlah imigran Muslim yang bekerja dan menempuh pendidikan di Hungaria setiap tahun mengalami peningkatan. Meski tidak menemukan data terbarunya, namun data lama yang diterbitkan Central Statistical Office (2011) menyebut jumlah Muslim mencapai 5.579 orang, atau 0.057% dari total penduduk Hungaria. Jumlah tersebut naik signifikan dibanding tahun 2001 yang hanya 3.201 orang.
Kenyataan tersebut melahirkan diskursus tentang Islam dalam kehidupan publik Hungaria. Pemerintah getol mengampanyekan pentingnya mempertahankan identitasnya di bawah ideologi Kristen Eropa dan bersikap skeptis terhadap imigran Muslim. Namun, bagi kelas menengah, yang terdiri dari aktivis NGO, akademisi, dan para seniman di negara tersebut, menyebut itu hanya retorika pemerintah di balik politik populisme nasionalis kanan (right-wing nationalist populism).
Respons terhadap kedatangan imigran Muslim tersebur terus memunculkan ketegangan, terutama mengingat pentingnya memperkuat ekonomi dalam negeri melalui pekerja asing. Di sisi yang lain, generasi muda dan komunitas intelektual Hungaria mulai menunjukkan minat yang lebih besar terhadap dunia Islam, baik dari sisi akademik, budaya, maupun spiritual.
Seperti halnya di Eötvös Loránd University (ELTE), yang membuka program studi Sastra Arab, Religious Studies, Islam and Middle East Studies, dan lainnya. Lembaga-lembaga seperti Islamic Center of Hungary dan komunitas Muslim lokal juga aktif menyelenggarakan kegiatan sosial, buka puasa bersama, pengenalan budaya kepada warga lokal, dan dialog antaragama.
Dengan demikian, Islam merupakan bagian dari mozaik budaya di Hungaria. Jejak Islam di Negeri Danube tersebut bukanlah elemen yang asing. Justru masa lalu yang gelap dapat kita ambil sebagai pelajaran berharga, dengan mentransformasikannya menadi kekayaan pengetahuan dan perjumpaan antar budaya.
Bahkan, kedatangan para imigran Muslim di Hongaria, yang didominasi pekerja dan mahasiswa, turut mewarnai rutinitas sosial dan budaya warga lokal. Fenomena ini bisa kita saksikan dengan banyaknya restoran halal dan toko-toko Asia Tengah dan Timur Tengah, serta akulturasi seni dan kuliner yang mewarnai kehidupan kota-kota di Hungaria di era modern.
Hemat penulis, problem utama hubungan Islam dan warga Hungaria sekarang ini bukanlah masalah teologis. Justru, konstruksi berpikir yang berakar pada stereotip dan prasangka terhadap Islam dan Muslim, perlu diminimalisir dengan pendekatan pendidikan lintas agama dan dialog antar budaya.
Sebagai mahasiswa yang tinggal di Budapest, penting sekali bagi saya dan tentu bagi komunitas Muslim di Hungaria untuk terus membangun citra positif melalui keterlibatan sosial, keterbukaan, dan kontribusi dalam kehidupan publik.
Film Rise of the Riven memang dibuat dengan sudut pandang historis yang mengedepankan kepahlawan Janos Hunyadi melawan Turki Utsmani. Tetapi dari film itu juga, kita bisa mengambil pelajaran berharga mengenai terjadinya proses akulturasi, adopsi budaya, dan penghormatan yang membentuk Hungaria sebagai sebuah bangsa.